Selasa, 01 Maret 2022

Melahirkan Dimasa Pandemi Covid-19, Suka dan Duka Penuh Drama

 Melahirkan_Dimasa_Pandemi_Covid-19

Setelah berhasil menyelesaikan tulisan tentang kehamilanku mulai dari usaha mencapai garis dua sampai cerita selama hamil, akhirnya sampai juga pada cerita yang selalu aku excited banget buat nyeritainnya. Apalagi kalau bukan cerita melahirkan malaikat kecilku yang sudah lama sekali dinantikan kehadirannya.

Di blogpost terakhir aku menceritakan pengalaman hamilku di trimester ketiga yang berakhir di kehamilan minggu ke 35-36. Sebenarnya masa kehamilan itu sebanyak 40-42 minggu. Tapi aku lahiran sebelum itu, jadi bisa disebut melahirkan bayi prematur. Sampai sekarang masih belum tahu sebabnya aku bisa melahirkan prematur karena belum pernah konsultasi dengan dokter juga.

Baca juga: Cerita Hamil Trimester Pertama

Aku melahirkan tepat pada hari Minggu tanggal 21 Maret 2021. Jadi umur anakku hari ini sampai blogpost ini tayang udah hampir setahun ya, tepatnya 11 bulan lebih.  Masyaallah.

Pada hari aku melahirkan itu jelas sudah memasuki masa pandemi. Dan aku khawatir banget sebelumnya karena pasti prosedurnya bakalan lebih ribet dari biasanya. Tapiii ternyata.....


Hamil_trimester_ketiga

Satu hari sebelum melahirkan..

Sebelum tahu kalau akan melahirkan lebih cepat, aku tidak mengira sama sekali akan melahirkan prematur.

Hari Sabtu sebelum tanggal 21 Maret aku masih sempat memaksa ngajak suami beli mie ayam kesukaanku. Pada hari Sabtu itu mulai siang kuu merasakan perutku keras dan tidak ada gerakan bayi sama sekali. Biasanya kalau perut terasa keras, ada gerakan dan merespon kalau diberi rangsangan dari luar, misalnya dielus gitu. Tapi kali ini enggak. Setelah bangun tidur siang tetep keras, aku bawa mandi dikucurin air juga tetap aja keras nggak ada gerakan sama sekali. Yang terlintas dipikiran bukan kepikir mau lahiran, tapi khawatir kalau-kalau bayiku kenapa-napa. Oke, aku masih positif thinking, mungkin si baby lagi tidur.

Satu lagi ketidaknyamanan yang aku rasain pada hari Sabtu itu yaitu nggak kuat berdiri lama. Sekitar 5-10 menit saja sudah sangat lelah dan capek, bahkan ada rasa nyeri di sekitar perut kebawah. Tapi aku masih belum kepikiran sama sekali kalau itu bisa menjadi tanda akan launching-nya si buah hati. Aku mengira kalau itu keluhan yang normal terjadi pada ibu hamil trimester akhir.

Baca juga: Cerita Hamil Trimester Kedua

Oke lanjut.

Aku pulang dari beli mie ayam setelah maghrib, ya sekitar jam 19.00 WIB. Aku tidak pernah menceritakan keluhan-keluhan itu kepada siapapun, bahkan suami dan ibuku juga tidak tahu. Aku masih bersikap seperti biasanya padahal ada rasa sedikit tidak nyaman di area perut, tapi memang rasa itu aku anggap biasa aja. Kan lahiran masih lama, sekitar satu bulan lagi, pikirku.

Aku tidur seperti biasanya, sekitar jam 21-22 WIB sudah masuk kamar dan bersiap tidur. Lagi-lagi, selalu terbangun setiap 1-2 jam sekali, apalagi acaranya kalau bukan pipis wkwk.

Sekitar jam 3 dini hari aku terbangun lagi, ke kamar mandi, tapi mulai merasakan nyeri dan sakit yang tidak biasa. Aku coba tahan, nggak ngebangunin suami juga. Coba terus tidur tapi nggak bisa. Menahan sakit yang terasa beberapa menit sekali. Aku mulai berpikir, apakah ini yang dinamakan kontraksi. Padahal belum saatnya melahirkan tapi kok kontraksi, pikirku.

Minggu, 21 Maret 2021 pagi..

Pagi hari sekitar jam 6 aku terbangun. Kali ini sakitnya lebih terasa semakin sakit. Rasanya ingin pup juga. Sudah masuk ke WC tapi ternyata tidak BAB. Nah akhirnya aku bilang ke ibu kalau perutku sakit dan mulas. Ibu yang sudah berpengalaman langsung gercep dong ngajak periksa ke bidan. Oke cus ke bidan desa.

Sampai di rumah bidan, langsung di cek dan ternyata taraaaaa sudah bukaan dua. Oh my God. Itu artinya aku akan segera melahirkan di usia kehamilan yang masih 8 bulan menginjak 9 bulan. Karena ada beberapa resiko yang sebelumnya sudah teranalisa, bidan tidak berani mengambil resiko menangani lahiranku. Jadi langsung disarankan ke rumah sakit saja.

Aku pulang dan buru-buru bersiap-siap ke rumah sakit. Belum ada persiapan sama sekali sebelumnya untuk keperluan baby. Bahkan baju baby belum beli satu pun, apalagi keperluan mandi bayi belum punya sama sekali. Cuma ada beberapa biji dikasih sama saudara wkwk.

Bahkan berkas-berkas seperti KTP, Kartu Keluarga, Kartu BPJS yang sebelumnya sudah diingatkan di Puskesmas untuk dipersiapkan, belum aku siapkan sama sekali. Jadi pagi itu bener-bener ribet, mempersiapkan segala sesuatunya mendadak. Ibu yang menyiapkan semua keperluanku dan suami yang segera menyiapkan kendaraannya. Aku ngapain? Ya diam lah sambil menahan sakitnya kontraksi wkwk.

Baca juga: Cerita Hamil Trimester Ketiga

Melahirkan_di_rumah_sakit

Otewe ke rumah sakit..

Yang mendampingi aku tentu saja suami dan ibuku. Kita mampir ke rumah sakit swasta dulu, berharap disitu lebih cepat tertangani. Rumah sakit sepi karena masih pagi. Aku langsung menuju pendaftaran, berbaring di ranjang pasien, dan diambil sampel darahnya untuk dilakukan beberapa tes. Nunggu hasilnya berasa lama banget, seiring dengan perutku yang kontraksinya sudah lebih sering.

Setelah semua berkas di cek oleh pihak rumah sakit, ternyata hasil swabku yang lalu sudah tidak berlaku atau habis masa pakainya. Artinya aku harus swab ulang, sementara rumah sakit swasta itu tidak mau melakukan swab untuk pasien yang kondisinya darurat dan butuh penangananan cepat.

Staf rumah sakit swasta itu meminta kita pindah ke RSUD saja. Duh aku kesel banget dong. Udah nunggu lama sambil ngerasain sakitnya kontraksi, berharap segera tertangani karena sepi, eh tiba-tiba disuruh pindah tanpa diantar sama sekali. Oke kita langsung menuju RSUD.

Sampai di RSUD mungkin sekitar pukul 08.00 WIB. Sama, di RSUD sangat sepi karena masih pagi. Jadi pendaftaran juga bisa lebih cepat. Suamiku yang mengurus di pendaftaran, sedangkan aku langsung dibawa ke ruang bersalin. Ibuku yang ikut mendampingi aku. Karena di masa pandemi, sudah pasti harus pakai masker dan dicek suhu di bagian pendaftaran tadi.

Di ruang bersalin aku diminta mengambil sampel urin oleh bidan. Disitulah aku tahu kalau ternyata sudah ada bercak darah yang keluar. Bidan mengambil sampel darah, memasang infus, dan mengecek bukaan jalan lahir. Betapa kagetnya aku pada saat itu bidan bilang kalau ternyata sudah bukaan 8 dan kepala bayi sudah teraba.

Sebelum bidan menyebutkan kalau ternyata sudah bukaan 8, aku masih terus berpikir kalau aku tidak akan bisa melahirkan normal dan harus operasi Caesar. Karena sejak awal periksa kehamilan, bidan Puskesmas sudah memvonis akan melahirkan secara Caesar dan diminta siap mental untuk itu.

Saat aku mendengar sudah bukaan 8  yang terpikir di otakku hanyalah, berapa sih berat badan bayiku kok sampai bisa dilahirkan secara normal.

Lanjut ceritanya di ruang bersalin.

Sambil menunggu bukaan lengkap atau bukaan 10, aku ditinggalkan sendiri di ruang bersalin, sedangkan bidan ke ruang sebelah entah apa yang mereka lakukan. Rasanya bener-bener campur aduk. Kontraksi semakin sering, tapi di ruang bersalin tidak ada yang menemani, rasanya ah mantap wkwk.

Sambil menunggu bukaan lengkap itu, ibuku sibuk belanja perlengkapan untuk melahirkan. Bidan rumah sakit yang terkenal galak sudah pasti membentak-bentak kalau tidak bergerak cepat. Kasihan ibuku huhu *sad.  

Saat ibuku datang, suamiku juga masuk ke ruang bersalin, dan beberapa bidan juga masuk ke ruang bersalin, menutup pintu, dan bersiap untuk membantu kelahiran bayiku. Tidak lama kemudian, dengan mengerahkan seluruh tenagaku untuk mengejan, akhirnya  bayi mungilku lahir dan terdengar tangisannya yang membuatku merinding. Walaupun tangan harus ditusuk-tusuk jarum infus berkali-kali, infus lepas darah ngucur ditangan sampai ditali pakai gurita, semua itu terbayar sudah dan tak terasa sakit sama sekali.

Lega rasanya mendengar tangisannya. Terharu aku tuh sudah menjadi ibu seutuhnya. Meskipun aku sempat mendengar bidan bilang kalau bayiku BBLR (berat badan lahir rendah), aku hanya berharap bayiku sehat dan bisa segera pulang. Tapi rupanya perjalanan tidak semudah itu.

Setelah bayi lahir, lahirlah juga plasenta atau istilah Jawa nya batur bayi. Perjuangan tidak berhenti sampai disitu. Ternyata jalan lahirku perlu dijahit. Kata bidan banyak banget sobekan diluar dan didalam. Oh my God rasanya dijahit tanpa dibius tuh benar-benar super sekali. Daripada melahirkan menurut ku jauh lebih sakit saat dijahit. Waktu menjahit 15 menit, tepat jam 09.00 WIB selesai.

Selesai dijahit, bidan ngasih tahu kalau hasilnya reaktif dari hasil tes Covid-19 tadi. Aku tidak dipertemukan dengan bayiku sama sekali. Yang seharusnya dilakukan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) jadi tidak ada. Sedih banget. Aku hanya melihat wajahnya dari samping sekitar 5 detik aja, bidan langsung membawanya ke ruangan bayi. Lihatnya lagi hanya dari foto yang diambil suamiku. Aku segera dipindahkan ke ruang perawatan karena sudah ada pasien masuk lagi yang akan melahirkan juga.

Karena hasilnya reaktif dan kebetulan hari Minggu tidak ada swab, jadi aku harus rawat inap menunggu sampai hari Senin untuk dilakukan swab lagi. Aku dipindahkan ke ruang isolasi yang isinya hanya 2 pasien dalam satu kamar. Beruntung melahirkan lebih dulu daripada keluar hasil tesnya. Kalau sampai hasil tes keluar lebih dulu pasti melahirkannya di ruang isolasi itu, bukan di ruangan bersalin dan bidan memandu lewat jarak jauh jika bukaan belum lengkap dan belum saatnya mengejan. Orang yang sekamar dengan aku cerita seperti itu. Dia harus melahirkan di ruang isolasi dengan penerangan seadanya karena reaktif Covid-19. Kasihan sekali.

Senin, 22 Maret 2021

Tibalah hari Senin, aku sudah tidak sabar menunggu swab lagi. Pagi menjelang siang dilakukanlah swab. Tak sabar juga menunggu hasilnya keluar. Ternyata hasil swab keluarnya setelah maghrib. Alhamdulillah aku dan teman sekamarku hasilnya negatif. Karena sudah malam, jam kerja administrasi juga pasti sudah selesai, kita belum diperbolehkan pulang. Harus menginap satu malam lagi huft. Di rumah sakit sungguh sangat tidak nyaman. Tapi aku dipindahkan lagi ke ruang perawatan setelah melahirkan yang isinya lebih banyak orang dan semakin tidak nyaman tempatnya.

Oh ya aku pakai BPJS dari pemerintah jadi bisa dikatakan kelas bawah ya. Itulah kenapa ruanganku tidak spesial dan kurang nyaman. Terima saja lah yaa hehe.

Lanjut ke ceritanya yaa..

Setelah dinyatakan negatif dan dipindah ke ruang pasca melahirkan, aku berharap akan segera dipertemukan dengan anakku.

Tibalah hari Selasa.

Yang sangat membosankan rutinitas di rumah sakit, pagi-pagi sekali harus segera antri mandi. Habis itu penunggu tidak boleh berada di dalam ruangan. Katanya ruangan akan dibersihkan. Penunggu boleh datang lagi sekitar jam 10.00 – 11.00 WIB.

Aku disitu sendiri menahan kantuk, tidak ada teman ngobrol, tidak ada signal, begitu lengkap kebosananku. Oke, memang ada teman yang awalnya satu kamar, tapi kami tidak saling bicara, hanya ibu kami yang akrab. Jadi disitu kita saling diam. Ibu yang lain sudah diberikan bayinya masing-masing, tapi aku dan satu teman seruangan tadi tidak diberikan bayi. Jadi sampai hari Selasa aku masih belum bertemu dengan anakku.

Sekitar jam 06.30 WIB jatah sarapan datang. Diberikan waktu 1 jam untuk makan sebelum tempat makan diambil lagi. Sekitar jam 08.00 WIB ada kunjungan bidan laktasi. Dicek kondisi payudara dan ASI. Lanjut jam 08.30 WIB ada kunjungan dokter. Dokter mengecek kondisi pasien dan menentukan apakah pasien bisa pulang hari itu.

Jam 09.30 WIB sudah mulai ada panggilan untuk para pendamping. Ibu dan suamiku juga sudah datang. Sambil menunggu dipanggil, kami berkemas bersiap pulang.

Tibalah saatnya sekitar jam 10.00 WIB namaku dipanggil dan yeay akhirnya pulang. Kami lalu menuju ruang bayi menjemput anakku, tapi ternyata si kecil belum bisa pulang pagi itu. Dia kemungkinan baru bisa pulang sore soalnya dokter belum mengecek lagi kondisinya. Kami pulang dengan sedikit kecewa. Mengingat dia lahir prematur dan BBLR, sangat mungkin akan membutuhkan perawatan lebih lama lagi di rumah sakit. Kami hanya berharap semua yang terbaik, si kecil sehat dan boleh pulang hari itu juga.

Sampai rumah ternyata tetap tidak tenang ya. Anakku belum ada dalam dekapanku. Harap-harap cemas menunggu telepon dari rumah sakit.

Tibalah sekitar jam 15.30 WIB suamiku ditelepon rumah sakit dan katanya bayinya sudah boleh pulang. Waah aku seneng banget, sebentar lagi akan bertemu malaikat kecilku. Hanya suami dan ibuku yang menjemput ke rumah sakit. Aku sungguh tidak sabar menunggu kedatangannya.

Sampai di rumah sekitar jam 17.30 WIB pas banget adzan Maghrib berkumandang. Akhirnya aku bisa melihat dan memeluk buah hatiku. Dapat pesan dari rumah sakit katanya tidak boleh terpapar banyak orang dulu, mengingat bayi yang masih sangat kecil rentan tertular penyakit, apalagi sedang dalam masa pandemi. Jadi hari itu langsung masuk kamar dan hanya saudara terdekat yang melihat, itu pun dari jauh.

Banyak yang mencibir katanya bayi kok nggak boleh dilihat orang. Tapi aku tidak peduli. Semua demi kebaikan anakku.

3 hari lagi bayiku harus kontrol ke rumah sakit lagi. Untuk cerita kontrolnya akan aku post lagi di postingan selanjutnya yaa. Luv you all..

0 komentar:

Posting Komentar

Halo, berkomentarlah dengan sopan ya karena kata-katamu adalah cerminan dirimu. Thank you sudah mampir.