Setelah berhasil menyelesaikan tulisan tentang kehamilanku
mulai dari usaha mencapai garis dua sampai cerita selama hamil, akhirnya sampai
juga pada cerita yang selalu aku excited banget buat nyeritainnya. Apalagi
kalau bukan cerita melahirkan malaikat kecilku yang sudah lama sekali
dinantikan kehadirannya.
Di blogpost terakhir aku menceritakan pengalaman hamilku di
trimester ketiga yang berakhir di kehamilan minggu ke 35-36. Sebenarnya masa
kehamilan itu sebanyak 40-42 minggu. Tapi aku lahiran sebelum itu, jadi bisa
disebut melahirkan bayi prematur. Sampai sekarang masih belum tahu sebabnya aku
bisa melahirkan prematur karena belum pernah konsultasi dengan dokter juga.
Baca juga: Cerita Hamil Trimester Pertama
Aku melahirkan tepat pada hari Minggu tanggal 21 Maret 2021.
Jadi umur anakku hari ini sampai blogpost ini tayang udah hampir setahun ya,
tepatnya 11 bulan lebih. Masyaallah.
Pada hari aku melahirkan itu jelas sudah memasuki masa
pandemi. Dan aku khawatir banget sebelumnya karena pasti prosedurnya bakalan lebih
ribet dari biasanya. Tapiii ternyata.....
Satu hari sebelum melahirkan..
Sebelum tahu kalau akan melahirkan lebih cepat, aku tidak
mengira sama sekali akan melahirkan prematur.
Hari Sabtu sebelum tanggal 21 Maret aku masih sempat memaksa
ngajak suami beli mie ayam kesukaanku. Pada hari Sabtu itu mulai siang kuu
merasakan perutku keras dan tidak ada gerakan bayi sama sekali. Biasanya kalau
perut terasa keras, ada gerakan dan merespon kalau diberi rangsangan dari luar,
misalnya dielus gitu. Tapi kali ini enggak. Setelah bangun tidur siang tetep
keras, aku bawa mandi dikucurin air juga tetap aja keras nggak ada gerakan sama
sekali. Yang terlintas dipikiran bukan kepikir mau lahiran, tapi khawatir
kalau-kalau bayiku kenapa-napa. Oke, aku masih positif thinking, mungkin si baby
lagi tidur.
Satu lagi ketidaknyamanan yang aku rasain pada hari Sabtu
itu yaitu nggak kuat berdiri lama. Sekitar 5-10 menit saja sudah sangat lelah
dan capek, bahkan ada rasa nyeri di sekitar perut kebawah. Tapi aku masih belum
kepikiran sama sekali kalau itu bisa menjadi tanda akan launching-nya si buah
hati. Aku mengira kalau itu keluhan yang normal terjadi pada ibu hamil
trimester akhir.
Baca juga: Cerita Hamil Trimester Kedua
Oke lanjut.
Aku pulang dari beli mie ayam setelah maghrib, ya sekitar
jam 19.00 WIB. Aku tidak pernah menceritakan keluhan-keluhan itu kepada
siapapun, bahkan suami dan ibuku juga tidak tahu. Aku masih bersikap seperti
biasanya padahal ada rasa sedikit tidak nyaman di area perut, tapi memang rasa
itu aku anggap biasa aja. Kan lahiran masih lama, sekitar satu bulan lagi,
pikirku.
Aku tidur seperti biasanya, sekitar jam 21-22 WIB sudah
masuk kamar dan bersiap tidur. Lagi-lagi, selalu terbangun setiap 1-2 jam
sekali, apalagi acaranya kalau bukan pipis wkwk.
Sekitar jam 3 dini hari aku terbangun lagi, ke kamar mandi,
tapi mulai merasakan nyeri dan sakit yang tidak biasa. Aku coba tahan, nggak ngebangunin
suami juga. Coba terus tidur tapi nggak bisa. Menahan sakit yang terasa
beberapa menit sekali. Aku mulai berpikir, apakah ini yang dinamakan kontraksi.
Padahal belum saatnya melahirkan tapi kok kontraksi, pikirku.
Minggu, 21 Maret 2021 pagi..
Pagi hari sekitar jam 6 aku terbangun. Kali ini sakitnya
lebih terasa semakin sakit. Rasanya ingin pup juga. Sudah masuk ke WC tapi
ternyata tidak BAB. Nah akhirnya aku bilang ke ibu kalau perutku sakit dan
mulas. Ibu yang sudah berpengalaman langsung gercep dong ngajak periksa ke
bidan. Oke cus ke bidan desa.
Sampai di rumah bidan, langsung di cek dan ternyata taraaaaa
sudah bukaan dua. Oh my God. Itu artinya aku akan segera melahirkan di usia
kehamilan yang masih 8 bulan menginjak 9 bulan. Karena ada beberapa resiko yang
sebelumnya sudah teranalisa, bidan tidak berani mengambil resiko menangani
lahiranku. Jadi langsung disarankan ke rumah sakit saja.
Aku pulang dan buru-buru bersiap-siap ke rumah sakit. Belum ada
persiapan sama sekali sebelumnya untuk keperluan baby. Bahkan baju baby belum beli
satu pun, apalagi keperluan mandi bayi belum punya sama sekali. Cuma ada beberapa
biji dikasih sama saudara wkwk.
Bahkan berkas-berkas seperti KTP, Kartu Keluarga, Kartu BPJS
yang sebelumnya sudah diingatkan di Puskesmas untuk dipersiapkan, belum aku siapkan
sama sekali. Jadi pagi itu bener-bener ribet, mempersiapkan segala sesuatunya mendadak.
Ibu yang menyiapkan semua keperluanku dan suami yang segera menyiapkan kendaraannya.
Aku ngapain? Ya diam lah sambil menahan sakitnya kontraksi wkwk.
Baca juga: Cerita Hamil Trimester Ketiga
Otewe ke rumah sakit..
Yang mendampingi aku tentu saja suami dan ibuku. Kita mampir
ke rumah sakit swasta dulu, berharap disitu lebih cepat tertangani. Rumah sakit
sepi karena masih pagi. Aku langsung menuju pendaftaran, berbaring di ranjang
pasien, dan diambil sampel darahnya untuk dilakukan beberapa tes. Nunggu
hasilnya berasa lama banget, seiring dengan perutku yang kontraksinya sudah
lebih sering.
Setelah semua berkas di cek oleh pihak rumah sakit, ternyata
hasil swabku yang lalu sudah tidak berlaku atau habis masa pakainya. Artinya
aku harus swab ulang, sementara rumah sakit swasta itu tidak mau melakukan swab
untuk pasien yang kondisinya darurat dan butuh penangananan cepat.
Staf rumah sakit swasta itu meminta kita pindah ke RSUD saja.
Duh aku kesel banget dong. Udah nunggu lama sambil ngerasain sakitnya
kontraksi, berharap segera tertangani karena sepi, eh tiba-tiba disuruh pindah
tanpa diantar sama sekali. Oke kita langsung menuju RSUD.
Sampai di RSUD mungkin sekitar pukul 08.00 WIB. Sama, di
RSUD sangat sepi karena masih pagi. Jadi pendaftaran juga bisa lebih cepat. Suamiku
yang mengurus di pendaftaran, sedangkan aku langsung dibawa ke ruang bersalin. Ibuku
yang ikut mendampingi aku. Karena di masa pandemi, sudah pasti harus pakai
masker dan dicek suhu di bagian pendaftaran tadi.
Di ruang bersalin aku diminta mengambil sampel urin oleh
bidan. Disitulah aku tahu kalau ternyata sudah ada bercak darah yang keluar. Bidan
mengambil sampel darah, memasang infus, dan mengecek bukaan jalan lahir. Betapa
kagetnya aku pada saat itu bidan bilang kalau ternyata sudah bukaan 8 dan
kepala bayi sudah teraba.
Sebelum bidan menyebutkan kalau ternyata sudah bukaan 8, aku
masih terus berpikir kalau aku tidak akan bisa melahirkan normal dan harus
operasi Caesar. Karena sejak awal periksa kehamilan, bidan Puskesmas sudah
memvonis akan melahirkan secara Caesar dan diminta siap mental untuk itu.
Saat aku mendengar sudah bukaan 8 yang terpikir di otakku hanyalah, berapa sih
berat badan bayiku kok sampai bisa dilahirkan secara normal.
Lanjut ceritanya di ruang bersalin.
Sambil menunggu bukaan lengkap atau bukaan 10, aku
ditinggalkan sendiri di ruang bersalin, sedangkan bidan ke ruang sebelah entah
apa yang mereka lakukan. Rasanya bener-bener campur aduk. Kontraksi semakin
sering, tapi di ruang bersalin tidak ada yang menemani, rasanya ah mantap wkwk.
Sambil menunggu bukaan lengkap itu, ibuku sibuk belanja
perlengkapan untuk melahirkan. Bidan rumah sakit yang terkenal galak sudah
pasti membentak-bentak kalau tidak bergerak cepat. Kasihan ibuku huhu *sad.
Saat ibuku datang, suamiku juga masuk ke ruang bersalin, dan
beberapa bidan juga masuk ke ruang bersalin, menutup pintu, dan bersiap untuk membantu
kelahiran bayiku. Tidak lama kemudian, dengan mengerahkan seluruh tenagaku
untuk mengejan, akhirnya bayi mungilku lahir
dan terdengar tangisannya yang membuatku merinding. Walaupun tangan harus ditusuk-tusuk jarum infus berkali-kali, infus lepas darah ngucur ditangan sampai ditali pakai gurita, semua itu terbayar sudah dan tak terasa sakit sama sekali.
Lega rasanya mendengar tangisannya. Terharu aku tuh sudah menjadi
ibu seutuhnya. Meskipun aku sempat mendengar bidan bilang kalau bayiku BBLR (berat
badan lahir rendah), aku hanya berharap bayiku sehat dan bisa segera pulang.
Tapi rupanya perjalanan tidak semudah itu.
Setelah bayi lahir, lahirlah juga plasenta atau istilah Jawa
nya batur bayi. Perjuangan tidak berhenti sampai disitu. Ternyata jalan lahirku
perlu dijahit. Kata bidan banyak banget sobekan diluar dan didalam. Oh my God rasanya
dijahit tanpa dibius tuh benar-benar super sekali. Daripada melahirkan menurut ku
jauh lebih sakit saat dijahit. Waktu menjahit 15 menit, tepat jam 09.00 WIB selesai.
Selesai dijahit, bidan ngasih tahu kalau hasilnya reaktif dari
hasil tes Covid-19 tadi. Aku tidak dipertemukan dengan bayiku sama sekali. Yang
seharusnya dilakukan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) jadi tidak ada. Sedih banget. Aku
hanya melihat wajahnya dari samping sekitar 5 detik aja, bidan langsung membawanya
ke ruangan bayi. Lihatnya lagi hanya dari foto yang diambil suamiku. Aku segera
dipindahkan ke ruang perawatan karena sudah ada pasien masuk lagi yang akan melahirkan
juga.
Karena hasilnya reaktif dan kebetulan hari Minggu tidak ada swab,
jadi aku harus rawat inap menunggu sampai hari Senin untuk dilakukan swab lagi.
Aku dipindahkan ke ruang isolasi yang isinya hanya 2 pasien dalam satu
kamar. Beruntung melahirkan lebih dulu daripada keluar hasil tesnya. Kalau sampai
hasil tes keluar lebih dulu pasti melahirkannya di ruang isolasi itu, bukan
di ruangan bersalin dan bidan memandu lewat jarak jauh jika bukaan belum lengkap
dan belum saatnya mengejan. Orang yang sekamar dengan aku cerita seperti itu. Dia
harus melahirkan di ruang isolasi dengan penerangan seadanya karena reaktif Covid-19.
Kasihan sekali.
Senin, 22 Maret 2021
Tibalah hari Senin, aku sudah tidak sabar menunggu swab lagi.
Pagi menjelang siang dilakukanlah swab. Tak sabar juga menunggu hasilnya keluar.
Ternyata hasil swab keluarnya setelah maghrib. Alhamdulillah aku dan teman sekamarku
hasilnya negatif. Karena sudah malam, jam kerja administrasi juga pasti sudah selesai,
kita belum diperbolehkan pulang. Harus menginap satu malam lagi huft. Di rumah sakit
sungguh sangat tidak nyaman. Tapi aku dipindahkan lagi ke ruang perawatan setelah
melahirkan yang isinya lebih banyak orang dan semakin tidak nyaman tempatnya.
Oh ya aku pakai BPJS dari pemerintah jadi bisa dikatakan kelas
bawah ya. Itulah kenapa ruanganku tidak spesial dan kurang nyaman. Terima saja lah
yaa hehe.
Lanjut ke ceritanya yaa..
Setelah dinyatakan negatif dan dipindah ke ruang pasca melahirkan,
aku berharap akan segera dipertemukan dengan anakku.
Tibalah hari Selasa.
Yang sangat membosankan rutinitas di rumah sakit, pagi-pagi sekali
harus segera antri mandi. Habis itu penunggu tidak boleh berada di dalam ruangan.
Katanya ruangan akan dibersihkan. Penunggu boleh datang lagi sekitar jam 10.00 –
11.00 WIB.
Aku disitu sendiri menahan kantuk, tidak ada teman ngobrol, tidak
ada signal, begitu lengkap kebosananku. Oke, memang ada teman yang awalnya satu
kamar, tapi kami tidak saling bicara, hanya ibu kami yang akrab. Jadi disitu kita
saling diam. Ibu yang lain sudah diberikan bayinya masing-masing, tapi aku dan satu
teman seruangan tadi tidak diberikan bayi. Jadi sampai hari Selasa aku masih belum
bertemu dengan anakku.
Sekitar jam 06.30 WIB jatah sarapan datang. Diberikan waktu
1 jam untuk makan sebelum tempat makan diambil lagi. Sekitar jam 08.00 WIB ada kunjungan
bidan laktasi. Dicek kondisi payudara dan ASI. Lanjut jam 08.30 WIB ada kunjungan
dokter. Dokter mengecek kondisi pasien dan menentukan apakah pasien bisa pulang
hari itu.
Jam 09.30 WIB sudah mulai ada panggilan untuk para pendamping.
Ibu dan suamiku juga sudah datang. Sambil menunggu dipanggil, kami berkemas bersiap
pulang.
Tibalah saatnya sekitar jam 10.00 WIB namaku dipanggil dan yeay
akhirnya pulang. Kami lalu menuju ruang bayi menjemput anakku, tapi ternyata si
kecil belum bisa pulang pagi itu. Dia kemungkinan baru bisa pulang sore soalnya
dokter belum mengecek lagi kondisinya. Kami pulang dengan sedikit kecewa. Mengingat
dia lahir prematur dan BBLR, sangat mungkin akan membutuhkan perawatan lebih lama
lagi di rumah sakit. Kami hanya berharap semua yang terbaik, si kecil sehat dan
boleh pulang hari itu juga.
Sampai rumah ternyata tetap tidak tenang ya. Anakku belum ada
dalam dekapanku. Harap-harap cemas menunggu telepon dari rumah sakit.
Tibalah sekitar jam 15.30 WIB suamiku ditelepon rumah sakit dan
katanya bayinya sudah boleh pulang. Waah aku seneng banget, sebentar lagi akan bertemu
malaikat kecilku. Hanya suami dan ibuku yang menjemput ke rumah sakit. Aku sungguh
tidak sabar menunggu kedatangannya.
Sampai di rumah sekitar jam 17.30 WIB pas banget adzan Maghrib
berkumandang. Akhirnya aku bisa melihat dan memeluk buah hatiku. Dapat pesan dari
rumah sakit katanya tidak boleh terpapar banyak orang dulu, mengingat bayi yang
masih sangat kecil rentan tertular penyakit, apalagi sedang dalam masa pandemi.
Jadi hari itu langsung masuk kamar dan hanya saudara terdekat yang melihat, itu
pun dari jauh.
Banyak yang mencibir katanya bayi kok nggak boleh dilihat orang.
Tapi aku tidak peduli. Semua demi kebaikan anakku.
3 hari lagi bayiku harus kontrol ke rumah sakit lagi. Untuk cerita
kontrolnya akan aku post lagi di postingan selanjutnya yaa. Luv you all..