Mata adalah ibarat senter, bahkan
jendela dunia untuk kita. Sedikit saja mata terganggu sudah pasti akan
menghambat pekerjaan dan aktivitas sehari-hari. Bukan berarti organ tubuh lainnya
tidak penting. Semua yang ada di tubuh memiliki peran dan fungsinya
masing-masing. Satu terluka, seluruh tubuh merasakan ketidaknyamanan pula.
Dalam rangka memperingati Hari
Penglihatan Sedunia (World Sight Day) saya ingin menuliskan kenangan kurang
mengenakkan tentang MATA yang pernah saya alami.
Tidak beruntungnya, masalah mata saya pada saat itu masih belum membaik hingga
saat ini, justru mungkin bisa jadi lebih memburuk.
Sekitar 4 tahun yang lalu saya
mulai merasa ada masalah pada mata. Sebelum itu tidak pernah sama sekali
mengalami keluhan apapun. Beruntungnya, saya bukanlah dari generasi yang sejak
bayi kenal smartphone. Saya baru memegang handphone pertama kali yaitu saat SD
kelas 5. Itupun bukan jenis smartphone, hanya sebatas handphone yang bisa
digunakan untuk mengirim pesan dan telepon saja. Coba, bisa dibayangkan
seandainya saya lahir dari generasi yang sejak lahir sudah bisa foto-memfoto,
mungkin masalah mata saya akan datang disaat usia masih lebih muda.
Disaat mata bermasalah itu, saya
sudah lulus kuliah dan sudah bekerja. Awalnya, terasa berat di area mata, pedih,
pandangan buram, dan sangat silau kalau terkena sinar matahari, sakit, sampai berair.
Disitu kecurigaan mulai muncul. Wah, sepertinya ini tanda-tanda mata minus nih.
Lalu, saya putuskan periksa ke Puskesmas. Berharap nanti dapat rujukan periksa
lebih lanjut ke rumah sakit.
Karena di Puskesmas tidak ada
poli mata, jadi diarahkan ke poli umum dulu. Disitu tidak diperiksa banyak,
hanya dilakukan tes baca huruf dan diberikan resep obat anti nyeri. Ternyata
tidak langsung mendapatkan rujukan ke rumah sakit. Saya diminta datang kembali
seminggu kemudian kalau keluhan tak kunjung mereda.
Seminggu berlalu, tidak ada
perubahan. Saya kembali lagi ke Puskesmas tersebut. Baru kemudian diberikan
surat rujukan ke rumah sakit di poli mata. Keesokan harinya tanpa pikir panjang
saya langsung menuju RSUD. Berangkat saat masih pagi buta berharap dapat nomor
antrian awal. Tapi ya begitulah ternyata masih harus tetap antri lama sampai
siang menjelang dhuhur.
Kalau kalian bertanya-tanya,
kenapa harus melalui rujukan dari Puskesmas dan bersedia mengantri berjam-jam
di rumah sakit. Ya, saya memanfaatkan BPJS (KIS), dimana harus berdasarkan
rujukan dari Puskesmas dulu kalau ingin berobat ke rumah sakit, kecuali dalam
keadaan darurat. Kondisi saya tentunya tidak darurat, jadi harus melalui
Puskemas dulu sebagai Faskes I yang terdaftar di kartu BPJS.
Hasil dari pemeriksaan di rumah
sakit yaitu ternyata mata saya mengalami gangguan mata yang disebut miopi atau
rabun jauh. Mata kanan minus 2,5 dan mata kiri minus 0,5. Sependek yang saya
tahu hanya itu. Kurang mengerti dengan bahasa medis dan dokter pun tidak
menjelaskan banyak hal. Saya sudah tidak
kaget dengan diagnosa dokter pada saat itu. Sudah disangka sejak awal. Karena
sebelum ada keluhan itu sehari-hari hanya menghabiskan waktu didepan HP dan
laptop tanpa menggunakan pelindung mata.
Dikutip dari
nationallasikcenter.id, myopia adalah gangguan refraksi yang terjadi karena bola
mata yang terlalu panjang atau kelengkungan kornea terlalu besar sehingga
cahaya yang masuk tidak difokuskan secara baik dan objek jauh tampak buram.
Orang awam seperti saya menyebutnya mata minus.
Hal ini disebabkan oleh mata yang berakomodasi terus menerus dalam waktu yang lama sehingga menimbulkan kelelahan. Kelelahan ini yang menyebabkan nyeri pada kepala. Keadaan ini biasanya membaik saat mata diistirahatkan atau mengkonsumsi anti nyeri, namun hal ini seringkali menimbulkan kekambuhan.
Ada beberapa jenis gangguan mata
yang umum dialami oleh manusia, diantaranya miopi (rabun jauh), hipermetropi
(rabun dekat), astigmatisme (silinder), presbiopi (mata tua), glaucoma, KATARAK,
dll. Tidak jarang gangguan mata dapat menyebabkan kebutaan jika tidak
tertangani dengan cepat dan tepat.
Melanjutkan cerita saya dari
rumah sakit.
Dokter tidak banyak bertanya dan
juga tidak memberikan masukan ataupun saran, hanya menuliskan resep kacamata.
Setelah itu langsung menuju optik. Di optik tersebut saya ditanya, apakah
memilih kacamata yang harganya sudah ditentukan oleh BPJS atau ingin memilih
frame kacamata yang lebih mahal. Jika memilih frame yang harganya melebihi
ketentuan BPJS, maka saya harus menambah biaya kurangnya. Saya pikir sama saja
lah, hanya bentuk bingkai kacamata saja yang membedakan dan kebetulan memang tidak ada budget lebih, jadi saya memilih kacamata dengan
harga yang sudah ditentukan oleh BPJS.
Itu adalah pertama dan terakhir
kali saya periksa mata. Alangkah baiknya jika diperiksakan ulang untuk melihat
apakah miopi di mata saya ini membaik atau justru lebih parah. Kalau
berdasarkan yang saya rasakan sepertinya nilai minusnya semakin bertambah, yang
artinya justru tidak semakin membaik.
Saat ini penglihatan saya semakin
buram. Apalagi untuk melihat tulisan kecil jarak jauh sangat kesulitan. Bahkan berkendara
di malam hari saja sangat membahayakan kalau tidak pakai kacamata. Lampu mobil
atau motor dari arah berlawanan terlihat buram dan cahaya seperti berpencar
tanpa arah. Sebenarnya ingin sekali cek mata lagi. Namun ada satu dan lain hal
yang menyebabkan saya belum bisa memeriksakan mata lagi hingga sekarang. Saya
hanya berharap semoga ada rezeki lebih sehingga bisa mengobati jendela di tubuh saya ini.
Dari informasi yang saya
dapatkan, gangguan mata, salah satunya miopi atau rabun jauh seperti yang saya
alami ini ternyata bisa disembuhkan tanpa harus menggunakan kacamata atau
lensa. Cara yang digunakan yaitu dengan metode laser yang seringkali lebih
dikenal dengan LASIK.
Laser In Situ Keratomileusis atau LASIK adalah prosedur laser
untuk mengoreksi gangguan refraksi (mata minus/rabun jauh, silinder, rabun
dekat) sehingga terbebas dari alat bantu penglihatan seperti kacamata dan contact lens.
3 METODE LASIK
Ada 3 metode lasik yang memiliki keunggulan masing-masing. Dokter mata akan memeriksa dan menentukan metode lasik mana yang cocok untuk diterapkan kepada orang yang yang memiliki gangguan refraksi mata. Kaena tidak semua orang bisa menggunakan ketiga metode lasik tersebut. Dokter akan menentukan mana metode yang sesuai pada tahap pre-lasik.